Cerpen : Kisah Kita
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,
Sekolahku adl sekolah literasi, jadi siswa disana sgt akrab dg hal tulis-baca. Nah diakhir semester ini perkelas mdpt tugas menulis karya dan kelasku memilih novel berisi kumpulan cerpen buatan kami sendiri. Nah, akhirnya aku buat cerpen (lagi). Namun berbeda dg cerpen sebelumnya yg sejarah tp fiction (susah ya). Tema cerpen kali ini adalah CINTA. Pas aku milih tema ini temenku sampe tanya, "loh kamu tema cerpennya cinta, San?". Ada apa dengan cinta? (btw sekuelnya dah tayang kan? dah lama ya? oke). Yaudah drpd arah pembicaraan kita semakin ga jelas, langsung aja siapin bantal (siapa tau aja nanti mbacanya ampe tidur), berikut cerpennya :
KISAH
KITA
Karya: Ersan Putro Santoso
Ilustrasi - via cdn.idntimes.com |
Siang itu aku termenung. “Ini
soal susah amat yak”, batinku. Kupandangi teman-temanku satu persatu. Tak tampak
raut wajah mereka kebingungan dengan soal ini. “Apa cuma otakku yang lagi error
atau temen-temen sebenarnya juga bingung, namun pura-pura tau aja?” Pikiranku
dari yang semula mencoba menjawab soal matematika, berbalik menjadi memikirkan
teman-temanku. Akhirnya aku bertanya kepada Budi, teman sebangkuku, cara
mengerjakan soal yang sulit itu.
“Oh itu gampang mah, tinggal disubstitusikan
aja” jawabnya singkat.
“Substitusi pak menteri…. mikir negara mulu sih
lu” ejek temanku itu.
Iya memang dikelas aku
dikenal menjadi politikus muda. Bukan karena aku seorang anggota dewan, tapi
karena aku suka berorator saat presentasi. Agak menggelikan memang hehe.
Back to the topic, akhirnya
soal matematika itu kembali aku pandangi, 1 menit, 2 menit, 3 menit, nyerah
dah. Susah banget ya perasaan. Karena sudah menyerah kepada keadaan, “pinjam
bro,” kutarik bukunya Budi dan kusalin jawabannya Budi. Ya, emang sering kaya
gitu kalo lagi pelajaran matematika. Apalagi ini udah jam setengah 3 siang. Otakku
yang memang udah lelah sulit untuk dipaksa mikir kaya gini.
Bertahan
diinjury time dan akhirnya bel pulangpun berbunyi. “MERDEKAAA!” teriakku
dengan mengepalkan tangan keatas. Tak terasa seluruh kelas memandangiku, tak
terkecuali guru matematikaku, Bu Indira.
“Ngapain kamu Tra?” tanya beliau kepadaku.
“Nostalgia pejuang kemerdekaan bu hehe”,
jawabku ngaco. Teman-temanku sontak tertawa.
“Nanti tolong ibu bawa tumpukan buku matematika
ini ya, Tra” pinta bu Indira kepadaku.
“Siap bu”.
Alhasil,
disaat teman-temanku udah nyebar kemana-mana. Aku dan bu Indira berjalan
bersama-sama menuju kantor guru.
“Gatra, kamu ini udah kelas 3, mbok ya
lebih rajin belajarnya” bu Indira memulai percakapan.
“Anu, bu iya hehe” tiba-tiba aku malu sendiri.
“Ada masalah tho le?
“Endak bu, saya sebenarnya juga udah
tobat pengen serius sekolah” jawabku jujur.
“Loh lha selama ini kamu ga serius tha le?
Tanya bu Indira dengan nada terkejut.
“Endak gitu sih bu, cuma dulu-dulu saya
sibuk ke yang lain.”
“Ya, bagus kalau begitu le, apalagi ini kan
udah kelas 3. Sebentar lagi banyak tes yang akan menentukan perjalananan kamu
kedepannya.”
Glek. Mendengar ucapan bu Indira tadi aku
mengena sekali didadaku. Bener juga ya. Tiba-tiba aku menjadi takut.
“Bu, saya kalau berubah masih belum terlambat
kan ya?” tanyaku dengan nada ketakutan
“Le, dengerin ibu ya, TIDAK ADA KATA TERLAMBAT
UNTUK BERUBAH”
“Terimakasih banyak bu. Saya akan benar-benar
berubah bu.” ucapku mantap.
“Yasudah le sama-sama, makasih juga ya
udah dibantu.” jawab beliau.
“Iya bu sama-sama.”
Berbekal
semangat baru dari bu Indira itu, aku pulang dengan semangat yang
menggebu-gebu. “Saatnya aku berubah, SAATNYA AKU BERUBAH!”. Namun diperjalanan
menuju parkiran sekolah, tiba-tiba seorang temanku memanggil.
“Tra… Gatra!” teriaknya sambil berlari
menghampiriku.
“Ada apa Nin?” jawabku kebingungan.
“Tolong ajarin pelajaran Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan dong, udah 3 hari aku ngehafalin UU tapi belom hafal-hafal.
Dan besok ulangan. Boleh minta tolong ajarin?” pintanya.
“Hmmmmm bentar-bentar…… gini-gini kan kamu
pinter matematika kan? Gimana kalo aku ngajarin ppkn, dan kamu ngajarin
matematika gimana?”, cocok dah diplomasiku.
“Oke, tapi sekalian ajarin sejarah ya, besok
juga ulangan itu masalahnya hehe”
“Yadeh ya……” ternyata diplomasiku kalah sama
dia. Emang cewek pinter diplomasi.
Maka jadilah sore itu Anin aku
ajarin ppkn dan sejarah. Dengan bekal ilmu cara menghafal yang sering kupakai
menghafal, ia aku ajari cara menghafal dengan metode penggambaran.
Alhamdulillah ia paham dengan cepat. Selanjutnya ia gantian mengajariku
matematika dengan metode darinya. Sejam kami belajar bersama dan banyak sekali
ilmu yang kami dapatkan. Kalau di ekologi. Ini yang dinamakan simbiosis
mutualisme. Karena merasa saling menguntungkan, kami sepakat belajar bersama di
hari yang lain.
Singkat cerita, kami jadi
sering belajar bersama, tidak hanya matematika dan ppkn-sejarah, namun juga
mapel lain yang kami pelajari bersama. Nilai kami juga semakin membaik,
terutama aku. Bu Indira juga terkejut dengan perkembanganku yang begitu pesat.
Ia memujiku dan mengatakan kepadaku, “kamu berhasil berubah le”. Aku
sangat bangga dengan pujian itu dan aku kemudian menceritakannya ke Anin.
“Nin, kalau gini terus, bukan tidak mungkin aku
bisa masuk Teknik Elektronika UGM. Seperti cita-citaku sejak dulu.” ucapku
mengakhiri cerita panjang lebar sebelumnya.
“Oh, UGM ya hehehe” jawabnya dengan singkat.
“Ada apa, Nin?”, ada apa dengan Indira ya,
batinku.
“Engga kok hehe, kalo aku mau ke hukum UI.”
“Wah, keren dong, Nin!” jawabku bersemangat.
“Iya hehe, tapi sayang ya bakalan jauh. Eh udah
dulu ya aku mo pulang.” Anin pamit dan pulang begitu saja, tingkahnya tiba-tiba
aneh setelah aku cerita mengenai UGM. Tak lama aku juga pulang.
Hari
begitu cepat berlalu, Anin akhir-akhir ini sulit untuk diajak belajar bersama.
Hingga tes kelulusan tiba, aku tidak mau menyia-nyiaknnya. Seluruh kemampuanku
aku kerahkan demi masa depanku. Dan tes itu akhirnya berlalu. Semua telah
selesai. Aku puas dengan usahaku selama ini. Hari pengumuman kelulusan akhirnya
tiba, aku lulus dengan nilai hampir sempurna. Dan lebih mengejutkannya lagi,
aku mendapat undangan di Teknik Elektronika UGM. “Alhamdulillah……!”. Tak lama
kemudian tiba-tiba Anin mengirim pesan singkat dan memintaku datang ditempat
belajar bersama kita biasanya, ditaman sekolah. “Ini dia, aku harus memberitahu
Anin.” batinku.
“Nin, ada apa?” tanyaku kepada Anin.
“Tra, aku keterima di hukum UI beneran.”
Jawabnya dengan mukanya yang memerah.
“Ada apa Nin?” tanyaku dengan heran.
“Tra, aku mau jujur Tra. Aku ngga bisa…..”
“Ngga bisa apa?”
“Aku ngga bisa jauh dari kamu, aku engga bisa”,
tiba-tiba air matanya menetes dari matanya yang indah itu dan membasahi
pipinya.
Aku terkejut, selama ini Anin juga punya rasa
yang sama kayak aku.
“Nin, aku juga mau jujur. Aku sayang kamu, Nin.
Disini, sejak kita selalu bertemu disini. Kamu membuatku menjadi aku sekarang.
Entah gimana tapi aku ingin meluk kamu sekarang.”
Tiba-tiba Anin memelukku dengan sangat erat
sembari berbisik, “Tra, aku juga sayang kamu. Jaga hati aku ya.”
“Iya Nin, iya. Aku akan
selalu ingat kamu walaupun kita terpisah jauh.” Tak terasa air mataku juga
menetes. Tiba-tiba rasa ingin stay dengan Anin membuatku ingin pindah ke Jakarta.
Pun dengan Anin yang ingin pindah ke Jogjakarta. Namun kami tidak bisa
memaksakan ego kami. Kami sepakat untuk ber-LDR demi cita-cita kami. Hari itu
menjadi hari membahagiakan sekaligus mengharukan.
Kamipun menjalani kehidupan
kuliah kami masing-masing. Dengan kesibukan yang ada, kami tetap berusaha untuk
saling menyambung komunikasi. Tidak ada satu haripun tanpa kami komunikasi. 1
tahun. 2 tahun. 3 tahun. Hingga akhirnya kami bekerja di dua instansi yang
berbeda. Aku sebagai seorang specialist engineer di perusahaan jaringan telepon
di Jogja, dan Anin di sebuah firma hukum di Jakarta. Kita masih saling
berkomunikasi meski tidak pernah bertatap muka 4 tahun belakangan ini.
Suatu saat, kantorku
mendapatkan masalah hukum. Kantor menujukku dan beberapa rekanku untuk
meyelesaikan masalah hukum tersebut di Jakarta. Kata bosku, kami akan dibantu
ahli hukum dari firma hukum di Jakarta.
Setibanya di Jakarta, aku
mendapatkan sambutan yang begitu hangat dari rekan kantor pusat kami dan firma
hukum yang siap membantu kami. Dan mataku terbelalak saat salah satu ahli hukum
itu adalah: ANIN.
“Nin…..?” sapaku tak percaya dengan apa yang
aku lihat sekarang.
“Gatra…….” Sapanya juga dengan tatapan yang
juga sedikit agak kaget. Rekan-rekanku nampaknya sudah tau siapa itu Anin yang
kumaksud, aku sudah sering cerita kepada mereka mengenai beberapa masa laluku,
termasuk saat bersama Anin. Mereka hanya tertegun.
Pertemuan
tentang pembahasan masalah kami disebuah lobby hotel berlangsung sekitar 5 jam.
Hingga akhirnya selesai dan semua yang hadir akhirnya meminta ijin ke kamar
hotel untuk beristirahat. Kini hanya tersisa aku dan Anin.
“Nin, kamu masih ingat kan awal kita…..”
“Tra, aku pengen ngomong sama kamu”, tiba-tiba
Anin memotong pembicaraanku.
“Apa, Nin?”
“Aku dijodohkan sama orang tua”
“Apa?!”
“Denger, Tra. Aku tahu kamu pasti kecewa. Tapi
dengerin aku dulu, aku masih sayang kamu. Tapi orang tuaku…..”
“Nin, aku ngga tau harus gimana. Kalau ini yang
terbaik buat kita, aku ikhlas kok” jawabku sedih.
“Dengerin dulu Tra…..”
“Maaf Nin, tapi sekarang aku bener-bener capek,
ini sudah jam 2 malam dan aku mau tidur sekarang.” Aku pergi meninggalkan Anin.
Ia hanya menundukkan kepalanya dan terdengar isak tangis. Aku tidak tahu harus
bagaimana. Malam itu jadi malam yang kelabu. Dikamar hotel aku sama sekali
tidak bisa tidur.
Hari terakhir di Jakarta, Anin dengan
rautnya yang datar dengan rekan-rekannya menemani kami menuju bandara. Kami
mengucapkan terimakasih atas bantuan mereka. Tanpa mereka, kami bisa saja
mengalami kerugian karena ulah oknum tak bertanggung jawab.
Hari
berlalu dengan cepat, aku dan Anin sekarang jarang berkomunikasi. Memang
seharusnya begitu meski hatiku tidak bisa menyembunyikan perasaan sesak yang
luar biasa, Aku masih sayang dengan Anin. 3 bulan berlalu. Tiba-tiba Anin
memberiku pesan singkat. Ia sekarang berada di Jogja dan ingin aku datang ke
taman sekolah, saat kita awal kali merajut indahnya cinta. Aku pikir ini adalah
saatnya mengucapkan selamat tinggal untuk cinta Anin. Aku menyanggupinya.
Siang
hari, disekolah kami. Waktu itu sedang liburan sekolah. Aku datang terlebih
dahulu dan berkeliling sekolah nostalgia dengan masalalu. Kemudian Anin datang.
“Tra, aku pengen ngomong sama kamu…”
“Iya, Nin, ngomong aja.” jawabku pelan.
“Aku nolak dijodohkan, aku ngga bisa nglepasin
kamu, aku udah cinta mati sama kamu, Tra.” Ucapnya dengan lirih.
“Apaaaa?” aku masih tidak percaya dengan
ucapannya.
“Iya, aku cerita panjang lebar ke mamah, dan
mamah tersentuh hatinya, mamah lalu cerita ke papah buat ngebatalin semuanya.” jawabnya
panjang lebar.
“Nin, aku seneng banget dengernya. Aku juga
engga bisa ngelepasin kamu.” jawabku dengan senyum paling bahagia dimuka bumi
ini.
“Eh Tra, aku belum selesai nih…” raut Anin
berubah dari terharu menjadi tersenyum lebar.
“Apa Nin?”
“Ini mamah mau ketemu sama kamu, nih. Dia ada
didepan gerbang sekolah sekarang. Kita sekarang kesana yuk” pintanya manis.
“Hehehe iyadeh yuk.”
Maka kamipun bergandengan tangan menuju gerbang
sekolah, Nampak seorang ibu keluar dari mobilnya dan menyambut kami. Beliau
adalah ibu Anin, bu Indira.
- TAMAT -
Aneh ya, saya juga berpikir awalnya ini cerpen komedi lo... tapi kok jadi baper wkwkwk dimana Gatra yang humoris pemirsa?! apakah ia diculik dan diganti oleh Gatra yg lain? (kok mirip sama cerita Uttaran?) atau Gatra ternyata putra yang tertukar? Nah ini dia bagian menariknya. Silahkan beri kesimpulan sendiri. Btw terimakasih buat yg sudah mbaca.
Komentar
Posting Komentar