Cerpen : Tiga Sekawan

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

        Dulu waktu hari Kartini tahun 2016, sekolah ngadain lomba nulis cerpen se-sma. Aku jg nyoba ikut walau akhirnya saat diumumin cuma dapet juara 12. Oke aib ya wkwkwk ga papalah jujur. Ok daripada cerpennya ngganggur dan ga ada yg mbaca minimal tak share ajalah disini -walopun disini jg ga ada yg mbaca- oke ini dia cerpennya :

TIGA SEKAWAN
(Judul awalnya "AKU BANGGA MENJADI ORANG INDONESIA")
Karya: Ersan Putro Santoso

Ilustrasi - via husnulaini.wordpress.com

“Mengapa aku bangga menjadi orang Indonesia?”
“Apa yang perlu kita banggakan?”
“Oke, kita punya alam yang indah, kekayaan yang melimpah…”
“Tapi rakyatnya lemah, pemimpinnya tak amanah!”
“Eeeeeh…..” Tiba-tiba Erwin yang sedari tadi menyimakku dengan tatapan tajam berbalik menyelaku.
“Tidak semua pemimpin di Indonesia tak amanah! Kang Emil, Bu Risma, Pak Ganjar, Pak Ahok, dan pak Jokowi contohnya….”. Jawabnya mantap dengan tatapan tajam.
“Oke win, tapi itu hanya 4….”
Belum selesai aku bicara, Irfan temanku yang ikut berdiskusi menyahut : “5 tra, bukan 4”
“Iya maksudnya 5…”
“5 pemimpin itu tidak bisa menggeneralisir seluruh pemimpin di Indonesia!”
“Bener juga sih, tapi……” Erwin mencoba menjawab.
“Kring…….!!!” bel sekolah berbunyi dan kami berlari menuju kelas. Pelajaran pagi itu adalah sejarah. Ya…. cocoklah untuk menambah referensi untuk paper yang akan kami bacakan saat HUT RI ke-72 1 bulan lagi. Tapi, sepanjang pelajaran tak ada yang membuatku berkata : “Woooooow keren ya Indonesia! Bangganya aku!!!”. Pelajaran sejarah pada hari itu mengisahkan mengenai Hindia Belanda yang mudah terpecah belah.
“Eh bung Putra, aku pernah denger kerajaan Majapahit pernah ekspedisi sampai Madagaskar sama Amerika lo, mereka ngenalin tanaman khas Indonesia yang sekarang tersebar di sana.” Erwin yang duduk disebelahku bak pejuang 45 tiba-tiba memberiku penjelasan yang membingungkan.
“Wah, masa? Jangan sotoy lu, dibuku sejarah ga ada men.”
“Gue pernah cari diinternet, buktinya sekarang ada Candi Sukuh dan Candi Cetho”. Erwin tiba-tiba berubah menjadi seperti Indiana Jones.
Aku secepat kilat browsing, dan ternyata ketemu. “Wow…” kata itu langsung terucap dibibirku. “Lalu, apa?” wajah sumringahku berubah menjadi datar.
“Okelah nenek moyang kita seperti itu, lalu apa?”
“Yaaaa, menengok masa lalu itu kadang membuat kita belajar sesuatu, Tra” jawab Erwin seperti memberi nasehat ke temannya yang sedang putus cinta.
“Aku tau maksudmu, tapi  setelah itu ngefek ndak dengan Indonesia sekarang?”
“Emmm bener sih… tenang Tra, kita akan cari solusinya…” Erwin masih dengan semangat 45-nya tetap menyemangatiku.
“Kuharap begitu…” timpalku lesu.
“Ternyata menulis untuk lomba internasional dengan menulis untuk pengabdian negara lebih susah yang pengabdian negara ya”, Irfan yang duduk dibelakang kami tiba-tiba menambahkan.
Sontak, kami kaget.

…..

Sekolah pulang lebih pagi karena guru sedang rapat dadakan yang katanya sangat penting. Kami memutuskan untuk meeting dirumah Erwin, karena Erwin punya banyak buku yang disusun sedemikian rupa mirip seperti perpustakaan dirumahnya…
“Oke, mungkin kita harus memadatkan referensi tulisan kita, hanya sejak awal Indonesia terjajah di abad ke-17 sampai Indonesia benar-benar mengusir penjajah di tahun 1949”.
 “Oke”. Jawab Erwin singkat, Ia berlari ke rak buku dan mengambil buku-buku sebesar bantal. Oke, harus kuakui Erwin terlalu bersemangat dalam hal ini. Tapi ia berlebihan.
“Bukankah buku paket sejarah kita juga sampai bab itu?” Irfan dengan santai mengeluarkan buku paket sejarah dan….. buku matematika dari tasnya.
Aneh memang kedua temanku ini… Aku mengeluarkan pensil.
“Kita mulai dari pertanyaan sederhana: Mengapa banyak penjajah yang menginginkan Indonesia?”
“Tadi kamu ngga ndengerin? Indonesia begitu kaya akan cengkeh dan pala, yang mana menjadi komoditi utama di abad itu” Irfan dengan cepat membalas pertanyaanku, ternyata ia diam di kelas tadi benar-benar memperhatikan pelajaran, aku pikir ia tidur.
“Dan juga, Indonesia juga punya potensi emas yang luar biasa, raja-raja di Indonesia dulu banyak menggunakan perhiasaan yang dilapisi emas asli. Eropa saat itu menggunakan sistem merkantinisme. Jadi wajar penjajah menginginkan itu” Erwin sang pemilik perpustakaan menambakan.
“Apaan itu merkantinisme?” batinku…
“Oke oke, tapi mengapa Indonesia tidak bisa mempertahankan sumber daya mereka saat itu?” tanpa bertanya apa itu merkantinisme, aku langsung masuk ke inti masalah.
“Banyak diceritakan, Indonesia waktu itu masih bodoh-bodoh, tapi aku ngga terlalu percaya” Erwin menyahut.
“Bukankah Indonesia sejak dahulu memasarkan produk mereka sampai ke daratan Tiongkok dan Konstantinopel? Mereka butuh ilmu untuk sampai kesana atau minimal saat bernegosiasi dengan pedagang yang ke sini. Jadi pendapat Erwin menurutku benar” Irfan membenarkan pernyataan Erwin.
“Bukan bodoh ilmu pengetahuan sih yang ku maksud, tapi Indonesia mudah dibodohi, strategi devide et impera-nya Belanda contohnya, kerajaan sebesar Mataram bisa dipecah sampai tinggal kota Solo dan Jogja”.
“Oke, itulah politik, politik memang kotor, banyak sekali kasus di dunia yang memakan korban jiwa karena politik.” Jawab Erwin dengan tatapan serius.
“Tapi tidak selalu politik kan Win?” Irfan kurang percaya dengan statement Erwin.
“Lagian bukannya dengan gerakan politiknya para pejuang 45 kita sekarang bisa merasakan indahnya kemerdekaan?, tanpa diplomasi yang dilakukan oleh para politikus tahun 45 bukankah Indonesia takkan bisa dikenal dunia sebagai negara merdeka?” Irfan menambahkan.
“Guys, kalian laper ngga?”
“Perutku tiba-tiba keroncongan nih”, aku berkata jujur…
Bantal-bantal asli tiba-tiba berterbangan menuju kearahku disertai kata : “ Weeeeeeeee dasar!”
Hari ini, selain ayam bakar yang kami pesan, kami juga memperoleh fakta bahwa Indonesia terjajah karena politik. Indonesia lepas dari penjajahan juga karena politik. Jadi dengan kata kunci politik, masa depan Indonesia bisa maju atau mundur.
Di hari lain, di perpustakaan kota, kami kembali melanjutkan diskusi kami yang sebelumnya tertunda perut yang keroncongan…
“Oke guys, kita sepakati kemarin bahwa negara ini maju dan mundur karena sebab politik bukan?” aku mengawali diskusi kembali.
“Weeee, ga cuma politik, bro. Pendidikan juga penting, kita tau sendiri kan saat politik etis banyak pribumi yang akhirnya jadi pandai dan cakap berdiplomasi di fase kemerdekaan” Erwin tiba-tiba menepis statement-ku .
“Bener bro, ekonomi juga ngga kalah penting, dengan ekonomi yang berdikari, Indonesia bisa membeli bahan pangan, dan akhirnya tercukupinya gizi, untuk proses berpikir dalam pendidikan.” Irfan menimpali dengan khasnya, yang ga jauh jauh dari matematika.
“Dan juga, sosial-budayanya, kita sejak awal sudah mengenal budaya gotong royong, jadi saat Indonesia dulu mengenal pendidikan yang mengajarkan ilmu politik dan ekonomi, mereka kemudian saling bergotong-royong untuk membangun negeri lewat politik dan ekonomi, begitukah?”
“Betuuuuuuul” jawab kedua temanku serempak dengan keras
“Huuuuuuuuuuustttt!” seluruh perpustakaan memandangi kami karena suara yang teman-temanku timbulkan.
“Hubungannya dengan Aku Bangga Menjadi Orang Indonesia lalu apa?” tanyaku bingung.
“Eeeeehhhmmm cari makan yuk” kini giliran Irfan yang kehabisan energinya dan akhirnya kami menghentikan diskusi kami dan mencari makan di sebuah rumah makan. Di rumah makan kami memutuskan untuk menggunakan hasil diskusi kami tadi sebagai penjelasan di paper kami.
…..

Hari berlalu begitu cepat, 1 minggu berlalu dan kami diundang terlebih dahulu untuk ke Jakarta, kami memutuskan untuk mengunjungi gedung bersejarah yang berhasil melahirkan dasar negara, gedung Chuo Shangi In, di Jalan Pejambon 6, Jakarta.
“Menurutmu mengapa ada sekelompok orang mau mengurusi urusan seluruh rakyat Hindia Belanda waktu itu? Apa yang bakal mereka dapatkan memangnya?” Irfan tiba-tiba bertanya disela-sela langkah kami mengamati setiap sudut gedung.
“Kemerdekaan fan, kemerdekaan”. Erwin yang merupakan cucu dari seorang veteran perang menjawab dengan tegas.
Aku menangkap maksud Irfan, memang seluruh Hindia Belanda ingin merdeka, banyak pemberontakan disini-sana, namun ada beberapa orang dengan strategi politiknya rela mempertaruhkan segalanya didepan musuhnya sendiri dengan tanpa senjata, bermodalkan kemahiran berkata-kata. Tapi disela-sela berpikir, tiba-tiba system eskresiku mengirimkan sinyal.
“Gue ketoilet ya, ada urusan bentar.”
“Oke bro, kita tunggu di ruang utama ya.” jawab teman-temanku.
“Oke.”
Aku menyusuri lorong yang mengarahkanku menuju toilet, lorong itu sangat gelap dengan secercah cahaya yang sangat terang diujungnya, aku mencoba mencari tahu darimana asal cahaya itu. “Wow, dimana ini?”. Ternyata itu adalah pintu keluar gedung, dan yang lebih mengejutkan pemandangan diluar tampak sangat asing bagiku. Lapangan gedung dipenuhi barisan tentara bertopi khas Jepang, terdengar bunyi pesawat tempur dari udara, orang Jepang berlalu lalang dengan pakaian militer dan orang-orang Indonesia yang memikul bakul dengan tampang lusuh. Time travel? Tidak mungkin! Aku masih tidak percaya, namun inilah yang terjadi sekarang, Indonesia tahun 1945! Namun seseorang berpakaian mirip seperti tokoh perjuangan Indonesia tiba-tiba menghampiriku.
“Bung, anda anggota BPUPKI juga? Tolong antarkan delegasi dari Sumatera yang baru sampai ini menuju ruang sidang.” katanya dengan tergesa-gesa.
Berbekal ingatan yang aku dapat saat mengelilingi gedung ini beberapa waktu yang lalu, akupun akhirnya mengantarkan para delegasi ini menuju ruang sidang.
“Mohon maaf, saya mengantarkan delegasi dari Sumatera”, ucapku kepada petugas didepan pintu masuk ruang sidang.
“Silahkan masuk, oh iya tadi bapak ketua berpesan agar anda mencatat seluruh kejadian yang berlangsung selama rapat, jadi dimohon anda juga masuk kedalam.” jawab petugas yang berpostur cukup tinggi dengan membawa senjata api ditangannya.
“Baiklah.”
“Tunggu-tunggu! Bapak Ketua, Bapak Radjiman Wedyodiningrat menyuruhku? Memangnya beliau kenal dengan aku?” kataku dalam hati.
Belum sempat aku mendapatkan jawaban tiba-tiba dari podium sidang naiklah sesosok orang berpostur tinggi besar dengan pakaian putih dan berpecis hitam.
“Tidak mungkin, bukankah itu Pak Sukarno?!” akupun terkejut.
Belum berakhir rasa terkejutku, pak Sukarno kembali membuatku terkejut dengan pidatonya yang sangat lantang dan membakar semangat para pejuang. Beliau mengusulkan sebuah dasar negara yang dikenal dengan sebutan “Pancasila”.
“Suatu kehormatan bisa menyaksikan peristiwa maha penting ini.” tulisku pada secarik kertas.
Selesai berpidato, pak Karno mendapat sambutan yang sangat meriah, seluruh anggota tampak puas ditandai dengan tepuk tangan mereka yang sangat meriah, tampak hanya anggota dari Jepanglah yang agak sedikit kesal, entah mengapa. Selesai sidang, akupun mencoba mengejar pak Karno untuk menanyainya berbagai hal, namun aku tidak melihat pilar didepanku, dan……. BRAAAK!


            Aku tersadar disebuah kamar dan tiba-tiba datanglah seorang pemuda menghampiriku.
“Bung, ayo kita segera menyusul ke tempat Soekarno-Hatta diculik.”
“Ke Rengasdengklok?”
“Darimana kau tau? Aku belum memberitahu bung tempatnya.”
Sebenarnya aku ingin sekali mengatakan : “Dari buku sejarahku bung!”, namun akhirnya niat itu aku urungkan.
“Ayo bung, sebentar lagi kita akan menyusul rombongan yang sudah sampai dahulu siang tadi.”
Tiba-tiba dari luar rumah tampak orang paruh baya dengan gelagak marah masuk rumah sambil berkata dengan tegas “Dimana Ir. Soekarno dan Moh. Hatta?!”.
“Di Rengasdengklok pak Ahmad” jawab temanku dengan sedikit takut dan khawatir
“Antar saya kesana sekarang juga!” ucapnya dengan emosi tinggi.
“Baiklah pak, kami sebenarnya juga akan meyusul kesana”
“Bung, anda yang mengendarai mobil. Biar nanti saya yang menjelaskan ke pak Ahmad Subarjo apa yang sebenarnya terjadi” ucap temanku itu kepadaku.
“Baiklah”
Maka kamipun berangkat menuju Rengasdengklok.
            Sesampainya disebuah halaman rumah milik seorang Tionghoa, pak Ahmad Subarjo langsung keluar dari mobil dan masuk ke rumah yang menjadi tempat pak Sukarno dan pak Hatta istirahat. Tampak dari dalam mobil kegaduhan di depan rumah. Namun beberapa saat kemudian pak Soekarno dan pak Hatta keluar dari rumah dan masuk mobil, tampak pak Ahmad Subarjo juga keluar dan naik kembali ke mobil kami.
“Kita kembali saja ke Jakarta, kita hanya membuang waktu disini.” ujarnya kepada kami.
Kami pun langsung tancap gas dan kemudian mengikuti mobil yang ditumpangi pak Karno dan pak Hatta. Langit di Jakarta tampak berbeda dari biasanya, suasana sangat mencekam, kami takut jika sewaktu-waktu terjadi pergolakan dan pemberontakan berdarah. Tiba-tiba langit berwarna merah. Kami pun panik, namun kami meneruskan perjalanan. Beberapa kilometer kemudian ternyata para petani sedang membakar jerami.
            Sesampainya di Jakarta rombongan kami menuju rumah Nishimura, namun entah mengapa Ir. Soekarno dan Bung Hatta tampak lesu begitu keluar dari rumah jendral Jepang itu. Rombongan kami kemudian menuju ke rumah Laksamana Muda Maeda, disana kami diperlakukan begitu hangat oleh Laksamana dan kami diperbolehkan untuk merumuskan proklamasi dirumahnya. Hanya Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Ahmad Subarjo yang merumuskan teks proklamasi di ruang makan, beberapa jam kemudian teks sudah selesai dan dilanjutkan dengan pengetikan oleh Bung Sayuti. Aku menemani bung Sayuti mengetik. Ada puluhan kertas yang sudah dibuang olehnya karena tekanan yang sangat luar bisa karena kita sama sekali belum istirahat. Namun pada akhirnya teks itu selesai juga, dan Sayuti Melik segera memberikannya kepada golongan tua. Namun sayangnya setelah selesai mengetik, bung Sayuti lupa dan membuang kertas dengan tulisan bung Karno yang sangat sejarah itu begitu saja. Akupun mengambilnya karena benda ini aku yakin akan sangat berharga bagi sejarah bangsa Indonesia dikemudian hari.
“Bung, nanti teks proklamasi kamu perbanyak dan sebarluaskan ke dunia ya. Biar seluruh dunia tahu bahwa Indonesia telah merdeka” tiba-tiba dari belakang Bung Hatta berpesan kepadaku.
“Baik bung, laksanakan!”
Aku baru saja akan menghampiri teman-temanku diruang sebelah namun aku yang sedari tadi belum istirahat tiba-tiba pusing dan terjatuh…… BRAK!!!


“Bung, cepat bangun! kita akan terlambat bila tidak segera bergegas ke rumah bung Karno!”
“Apa? Ada apa?”
“Kita harus segera kesana kalau tidak mau ketinggalan melihat hari bersejarah bagi bangsa kita. Ngomong-ngomong teks proklamasi sudah bung perbanyak?”
“Sudah bung, tinggal kita sebarluaskan.”
“Baiklah, ayo cepat.”
Kami segera menuju rumah bung Karno di jalan pegangsaan timur no. 56, Jakarta. Tepat sesaat kemi datang, bung Karno dan bung Hatta keluar dari rumah dan mulai membacakan proklamasi :

PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dalam tempo yang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05
Atas nama bangsa Indonesia
Sukarno-Hatta

            Aku begitu terharu setelah mendengar, begitu pula dengan seluruh peserta yang hadir. Tampak langit pada hari itu sangat cerah, dengan burung yang berkicau riang dan senang, angin sepoi-sepoi menyejukkan seluruh peserta yang hadir. Proklamasi telah dibacakan. Kemerdekaan telah dinyatakan. Upacara dilanjutkan dengan pengibaran bendera merah-putih dan tanpa dipimpin seluruh rakyat Indonesia bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya. Semua menangis haru, banyak yang bersuara lirih, karena tak kuasa menahan tangis. Negeri kita telah merdeka, bung. Negeri kita telah merdeka! Setelah sekian abad dijajah, diinjak-injak, dilecehkan, diperbudak bangsa asing. Kita pada hari ini merdeka, kita membuktikan bahwa kita juga setara, kita memiliki hak yang sama. Tak ada yang bisa menggambarkan dengan detail bagaimana perasaan seluruh orang Indonesia saat itu, antara senang, terharu, bahagia, semangat membara, semua melebur menjadi satu. Suasana benar-benar haru, bercampur bahagia. Negara baru telah lahir. Indonesia.
            Selepas upacara aku dan beberapa golongan muda masih punya kewajiban, menyebarluaskan berita mahapenting ini ke seluruh dunia. Kami membagi tugas, ada yang menyebarkan lewat radio, pamflet, koran, coretan didinding, stasiun, bahkan mobil. Aku mendapat jatah untuk menyebarluaskan lewat radio. Namun usaha kita tenyata dihalang-halangi Jepang. Pemancar radio disegel Jepang. Kami tak habis akal, kami memanjat keatas tower lewat belakang, namun karena aku tak berhati-hati aku malah terpeleset dan….. BRAK!!!


“Tra? Putra? Lo darimana aja? Kita nyariin lo dari tadi!” tiba-tiba Erwin datang dan membantuku berdiri.
“Iya Tra, kita sejaman nyari lo kemana, mana, sampai hafal luas dan volume gedung ini.” Irfan menambahkan dengan sedikit humor matematikanya.
 “Guys, kalian tau ngga? Sekarang aku punya alasan untuk bangga menjadi orang Indonesia. Alasannya adalah karena di negeri ini banyak lahir manusia-manusia pemberani. Yang  melihat SDA yang melimpah di negerinya adalah milik mereka sendiri, maka mereka berusaha untuk berdikari memanfaatkannya untuk kepentingan semua. Mereka tak takut dengan ancaman, mereka tak takut dengan senapan. Karena mereka yakin, kemerdekaan akan segera mereka dapatkan.” Kataku dengan dengan lirih dan terharu, tak terasa air mataku menetes dan jatuh dilantai gedung dimana dasar negara Indonesia lahir.
“Oke Sherlock Holmes, akhirnya lo punya alesan buat bangga menjadi Indonesian kan? Jadi mari kita selesaikan paper kita yang sebentar lagi akan kita bacakan di hadapan seluruh orang-orang pemberani yang sekarang merelakan hidupnya untuk kepentingan negara.” Erwin menenangkanku dengan wajah kebapakannya.
Erwin dan Irfan lalu merangkulku dan kami pun kembali ke hotel tempat kami menginap untuk menyelesaikan paper kehormatan ini.
 Win, Fan, kalian mungkin ngga percaya apa yang baru aja aku alami. Tapi biarkan sajalah, bukan itu poinnya. Time travel memang hal yang masih diperdebatkan, namun sejarah adalah hal yang tidak boleh kita lupakan. Apalagi sejarah negeri kita, INDONESIA. Aku bangga menjadi orang Indonesia.

-TAMAT-

    Ada yg bingung? pusing? kesemutan? wkwkwk iya iya cerpen itu emang fusion sama buku sejarah hehe jd gapapalah dg kalian baca cerpen ini, kalian jg belajar sejarah. Semoga ada manfaatnya. Terimakasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkembangan Undetected

Anekdot Bahasa Jawa : BBM Mundhak

The Martian - Kisah Kemanusiaan Berpadu dengan Sains Fiksi